Jangan Bereaksi Berlebihan Tanggapi Kerusuhan 22 Mei

Status
Not open for further replies.

politik

New Member
Masyarakat Indonesia tidak boleh bereaksi berlebihan dalam menanggapi kerusuhan 22 Mei. Kerusuhan itu tidak boleh mencemari pemilu yang telah berjalan bebas, adil, dan damai. Ini memang salah satu kerusuhan paling mengerikan di Jakarta sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998. Tapi ini bukan kekerasan politik terburuk di Indonesia selama beberapa dekade, mengingat pemberontakan di Aceh baru berakhir pada tahun 2004 dan konflik separatis berdarah di Papua masih berlanjut hingga hari ini.

Oleh: Ben Bland (The Interpreter)

Gambar-gambar kerusuhan oleh para pendukung calon presiden yang kalah, Prabowo Subianto, di Jakarta, telah tersebar di seluruh dunia minggu ini, mencemari apa yang seharusnya menjadi pemilu yang bebas, adil, dan damai, di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.

Setidaknya delapan orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam dua malam bentrokan antara para pengunjuk rasa dan pasukan keamanan. Pada Rabu (22/5)—malam kedua kerusuhan—polisi menunjukkan penahanan diri, yang membantu meredam ketegangan.

Media internasional telah bergegas untuk menyebut ini kerusuhan politik terburuk dalam beberapa dekade. Para komentator telah memperingatkan bahwa kerusuhan ini—dan upaya untuk menghasut gerakan “kekuatan rakyat” (people power) oleh tim Prabowo—merupakan tantangan mendasar bagi demokrasi Indonesia.

Dan pemerintah Presiden Joko Widodo yang terpilih kembali, menanggapi dengan—untuk pertama kalinya—membatasi akses media sosial populer seperti WhatsApp, Facebook, dan Instagram, dalam upaya untuk menghentikan penyebaran pesan yang meresahkan dan berita palsu.

Seiring puing-puing dibersihkan dari jalan-jalan di Jakarta, semua yang khawatir dengan kerusuhan ini perlu merenungkannya baik-baik.

Ini memang salah satu kerusuhan paling mengerikan di Jakarta sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998—dan hilangnya nyawa serta kehancuran akibat tragedi ini sangatlah tragis. Tapi ini bukan kekerasan politik terburuk di Indonesia selama beberapa dekade, mengingat pemberontakan di Aceh baru berakhir pada tahun 2004 dan konflik separatis berdarah di Papua masih berlanjut hingga hari ini.

Prabowo dan para pendukungnya telah mencoba merusak kepercayaan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama berbulan-bulan, seiring semakin jelas bahwa mereka akan kalah dari Jokowi. Setelah memunculkan kemarahan dan kebencian di antara para pendukungnya selama jangka waktu yang lama, ia dan timnya sangat lambat dalam meminta para pendukungnya untuk mundur.

Prabowo menggunakan strategi yang sama—mengklaim kecurangan pemilu—ketika ia kalah dalam Pemilu 2014 dari Jokowi, dan ketika ia dikalahkan sebagai kandidat wakil presiden pada tahun 2009. Alih-alih mewakili ancaman nyata terhadap demokrasi, tampaknya ada aspek performatif untuk tuduhan-tuduhan sebelumnya.

Baca Artikel Selengkapnya di sini
 
Status
Not open for further replies.
Loading...
Top