Apa Tujuan Reshuffle Kabinet Terkait Masa Depan Jokowi Di Pilpres 2019?

Status
Not open for further replies.

politik

New Member
Dengan Presiden Jokowi yang akan mulai menggelar kampanye tahun ini mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2019 di bulan April tahun depan,tujuan reshuffle kabinet kali ini dilihat sebagai langkah kecil namun terlihat jelas maksudnya.

Oleh: Erin Cook

Minggu lalu Presiden Joko “Jokowi” Widodo kembali melaksanakan perombakan, alias reshuffle kabinet di pemerintahan Indonesia, setelah beberapa bulan dispekulasi. Reshuffle tersebut merupakan perombakan ketiga, dan mungkin menjadi yang terakhir, pada masa pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi. Dengan Presiden yang akan mulai menggelar kampanye tahun ini mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2019 di bulan April tahun depan, Tujuan reshuffle kabinet kali ini dilihat sebagai langkah kecil namun terlihat jelas maksudnya.



Reshuffle yang dilakukan pada Juli 2016 ditujukan untuk membersihkan kabinet dari para pejabat yang kurang menunjukkan kinerja, khususnya Mantan Menteri Koordinator Hubungan Maritim Rizal Ramli, yang disingkirkan setelah rangkaian kontroversi, dan Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Bambang digantikan oleh Sri Mulyani Indrawati yang popularitasnya sangat dikenal luas dikarenakan kesuksesannya setelah reshuffle, hingga menimbulkan rumor bahwa menteri keuangan yang baru bisa menjadi kandidat potensial bagi wakil presiden Jokowi di pemilu kedua.

Kali ini, penggantian kepala staf kepresidenan Teten Masduki yang mendapatkan jabatan tersebut pada tahun 2015, setelah Luhut Binsar Pandjaitan menjadi Menteri Koordinator Urusan Maritim, menjadi komandan militer TNI Moeldoko, tampaknya merupakan langkah yang cerdas.

Moeldoko mengundurkan diri dari jabatan TNI-nya pada tahun 2015 dengan tujuan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2019, namun merasa cukup dengan peran yang didapatnya sekarang.

Moeldoko bergabung dengan kelompok kecil tapi berkembang yang beranggotakan mantan petinggi militer dan polisi yang ada dalam lingkaran Jokowi. Banyak orang yang kaget ketika mantan Jenderal TNI Wiranto diangkat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada tujuan reshuffle kabinet 2016.

Wiranto mengontrol TNI selama tahun 1998 dan 1999, dan aktivis mahasiswa dan hak asasi manusia di seluruh negeri berpendapat bahwa pengawasan atas perannya harus disertai dengan rekonsiliasi yang lebih luas mengingat kematian-kematian selama periode kekerasan pasca-Soeharto, yang diduga melibatkan pasukan militer.

Namun langkah tersebut segera terbayar bagi Jokowi, yang mampu mengerahkan Wiranto dan menjadi perantara sebuah resolusi yang dapat dikatakan damai terhadap demonstrasi pemilihan Jakarta yang menegangkan di tahun 2016 dan 2017.

Jokowi mungkin berharap keberuntungan akan menghampirinya untuk kedua kalinya dengan pengangkatan Moeldoko. Sebagai tangan kanan presiden, Moeldoko membawa serta karier yang panjang dan sukses sebagai pemimpin militer dan perwakilan aparat keamanan Indonesia di luar negeri. Yang penting, ada yang menyarankan agar posisi Moeldoko bisa mengimbangi pengaruh Menteri Koordinator Kelautan Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut, mantan komandan di unit pasukan khusus TNI Kopassus, telah menghadapi kritik keras karena keinginannya untuk memiliki lebih banyak kekuasaan di dalam kabinet daripada yang seharusnya, atau harus dimilikinya.

Mengumpulkan dukungan dari pihak militer merupakan salah satu dari dua rencana Jokowi yang transparan untuk sebuah kabinet pra-pemilihan, sebelum menghadapi Pemilu 2019. Bergabung dengan mantan pemimpin militer di kabinet adalah Idrus Marham, mantan sekretaris jenderal Golkar dan sekarang menteri urusan sosial, yang menggantikan Khofifah Parawansa setelah dia mengumumkan niatnya untuk mencalonkan Gubernur Jawa Timur dalam pemilihan daerah bulan Juni.

Penambahan Idrus memberi partai Golkar tempat keempat di kabinet. Yang sebelumnya merupakan Fraksi DPR yang paling menentang koalisi pemerintahan yang dipimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar telah menurunkan bobotnya menjelang pemilihan Jokowi pada tahun 2019. Terbakar oleh kasus korupsi mengerikan terhadap mantan ketua Setya Novanto dan penurunan dukungan di poling, hal tersebut tidak mengherankan.

Menariknya, pengganti Setya Novanto sebagai pimpinan Golkar, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, tidak dipaksa melepaskan jabatannya di kabinet setelah dilantik menjadi Ketua Partai bulan lalu. Hartarto adalah pengecualian terhadap sebuah peraturan yang diumumkan Jokowi pada awal masa kepresidenannya bahwa tidak ada anggota kabinet yang dapat memimpin sebuah partai politik (Jokowi sendiri bukanlah bos PDI-P), yang membuat Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskander menolak tawaran tujuan reshuffle kabinet dan Wiranto melepaskan kepemimpinannya dari partai Hanura untuk bergabung dengan kabinet yang bekerja.

Mengikuti peraturan pemilu, berarti Jokowi harus mundur dari sebagian besar tugas utama kepresidenan pada bulan Agustus, reshuffle tersebut tidak lain adalah keputusan terakhir. Dengan pemilu setahun mendatang dan kekhawatiran atas segala hal mulai dari iliberalisme hingga proyek infrastruktur utama yang bermasalah, perombakan kabinet merupakan tugas Jokowi yang tergolong mudah untuk menuju pemilu tahun depan.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

Sumber : Apa Tujuan Reshuffle Kabinet Terkait Masa Depan Jokowi di Pilpres 2019?
 
Status
Not open for further replies.
Loading...
Top