Dua Drama Korea Utara, Di Belahan Dunia Berbeda, Dipentaskan Untuk Mematikan Langkah Trump

Status
Not open for further replies.

politik

New Member
Korea Utara memperbaiki hubungannya dengan Korea Selatan dengan bergabung dalam OIimpiade Musim Dingin. Sementara itu, 20 negara hadir di KTT Vancouver untuk membahas masalah nuklir Korea Utara, mendorong langkah diplomasi. Kedua “drama” tersebut “dipentaskan” untuk menunjukkan kepada Trump, bahwa langkah militernya untuk melucuti nuklir Korut akan dimatikan.

Oleh: Campbell Clark (The Globe and Mail)

Begitu dramatis. Korea Utara akan mengirim kontingen ke Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan, meski keduanya masih secara teknis berperang dan terbagi secara praktis oleh zona demiliterisasi. Namun diktator Korea Utara Kim Jong Un telah sepakat untuk mengirim delegasi Olimpiade yang mencakup 230 pemandu sorak. Apa lagi yang bisa menjadi simbol hubungan yang membaik daripada bersaing di kompetisi yang sama?



Namun, di Vancouver, beberapa jam sebelum pengumuman Olimpiade, ada semacam jenis teater diplomatik Korea Utara. Perwakilan dari 20 negara berbaris untuk membuat pernyataan yang jelas bahwa Pyongyang harus “melakukan denuklirisasi”—benar-benar meninggalkan program senjata nuklirnya.

Masalahnya, itu tidak akan terjadi.

Dua pertunjukkan itu terpisah dari laut. Ada jurang pemisah antara apa yang terjadi di antara sekutu Amerika Serikat (AS) dan apa yang terjadi antara Korea Utara dan Selatan.

Di Vancouver, pesannya adalah bahwa tidak mungkin ada kesepakatan dengan Pyongyang yang masih memiliki senjata nuklir.

Di Asia, Korea Selatan sepakat untuk berbaris di tim yang sama dengan Korea Utara, bulan depan.

Dalam kedua kasus tersebut, sebagian besar kesalahan ditujukan kepada Presiden AS Donald Trump—bukan hanya Korea Utara—dan pembicaraannya mengenai intervensi militer.

KTT Vancouver, yang diselenggarakan oleh Menteri Luar Negeri Chrystia Freeland dan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, tidak begitu banyak melakukan diplomasi selayaknya pertunjukan pantomim. Pihak yang dianggap buruk dicemooh dan keseluruhan permainan mengandung pesan sederhana. Dua puluh negara mengatakan sanksi tidak akan dicabut sampai Korea Utara menyerah.

Tak hanya bahwa 20 negara tersebut—yang tidak termasuk China dan Rusia—bukanlah orang-orang yang bisa menetapkan kesepakatan. Ini bukan tentang kesepakatan, tapi solidaritas di balik sebuah pesan sulit: Korea Utara harus melakukan denuklirisasi.

Tapi semua orang di sana tahu itu bukan solusinya.

Denuklirisasi merupakan aspirasi masyarakat internasional yang sudah lama ada, namun Korea Utara, yang melihat cara mengamankan negaranya dari serangan dari sisi kemampuan untuk membunuh jutaan orang sebagai pembalasan, tidak akan melepaskan semua senjata nuklirnya. Selain itu, nuklir bukanlah hal baru—sesuatu yang telah menjadi perhatian utama adalah pengembangan rudal balistik antar benua Pyongyang.

Perkembangan penting lainnya adalah sikap Trump, dan pembicaraan mengenai perang—atau sama mengerikannya, pembicaraan tentang serangan “brutal” potensial atas Korea Utara yang dapat menimbulkan rasa sakit tanpa menyebabkan perang skala penuh.

Jadi Korea Utara tidak akan melakukan denuklirisasi, dan Trump telah memajukan opsi militer.

“(Korea Utara dan Amerika Serikat) kehabisan langkah antara titik di mana pertikaian dimulai dan titik di mana perang akan terjadi,” kata Stephen Saideman, seorang profesor keamanan internasional di Carleton University.

Dalam pemerintahan Trump, Tillerson yang berbicara untuk tindakan multilateral dan taktik tekanan seperti sanksi, namun strateginya dirusak oleh rangkaian tweet presiden. Tak heran jika ia ingin mengumpulkan sekutu yang setuju dengan pemikirannya. Tidak mengherankan jika negara-negara tersebut, yang tidak menyukai ide perang, ingin menunjukkan bahwa mereka akan mendukung Amerika Serikat saat menggunakan taktik diplomasi alih-alih militer.

Mungkin pertemuan tersebut mengirim pesan kepada Trump bahwa ada pilihan non-militer.

Tapi masalahnya adalah mereka sepertinya tidak mengarah ke mana-mana. Setelah mengancam akan menggunakan aksi militer, Amerika Serikat “tidak memiliki langkah maju yang jelas,” kata Michael Mazarr, seorang ahli politik di RAND Corporation.

Dan dalam jalan buntu yang berbahaya itu, Kim mengambil langkah, dalam ketepatan waktu sempurna, untuk terjun dalam diplomasi Olimpiade yang cerdik. Dia menemukan seorang partner di diri Presiden Korea Selatan Moon Jae-In.

Selalu ada keraguan di Korea Selatan tentang melakukan upaya lain untuk melakukan diplomasi “sinar matahari” dengan Korea Utara, namun Olimpiade tersebut merupakan peluang yang jelas, kata Mazarr. Korea Selatan khawatir Korea Utara mungkin akan mencoba mengganggu Olimpiade dan punya alasan untuk berdialog.

Kini setelah mereka menghasilkan langkah simbolis, mereka bisa melakukan lebih banyak pembicaraan setelah Olimpiade: Banyak orang Korea, di kedua sisi perbatasan, mungkin tergerak oleh tim gabungan di Olimpiade, kata Mazarr. “Jangan meremehkan resonansi emosional konsep bangsa Korea,” katanya.

Dan jika Korea Utara dan Korea Selatan dalam perundingan politik pasca-Olimpiade, termasuk keamanan dan senjata nuklir, nampak membuat sedikit kemajuan, hampir tidak mungkin bagi Trump untuk melakukan serangan militer, kata Mazarr. “(Jika dilakukan) itu akan menjadi tindakan bodoh yang strategis.”

Ironisnya, ini adalah peralihan taktik tradisional Korea Utara: Pyongyang sering melakukan provokasi untuk mendorong Amerika Serikat melakukan pembicaraan langsung dan menyisihkan Korea Selatan.

Sekarang, Kim mencoba untuk berdiplomasi dengan Korea Selatan—dengan beberapa simbolisme Olimpiade—untuk mematikan langkah Trump.

Sumber : matamatapolitik.com​
 
Status
Not open for further replies.
Loading...

Thread Terbaru

Post Terbaru

Top