Perpecahan Indonesia, Dari Aksi 212 Sampai Ke Kerusuhan 22 Mei

Status
Not open for further replies.

politik

New Member
Kampanye Pilpres 2019 telah memamerkan bagaimana Indonesia kini tengah terpecah-belah masalah ras dan terutama agama. Titik baliknya terjadi ketika ratusan ribu massa berkumpul di aksi 212, menuntut penggulingan dan pemenjaraan Ahok. Perpecahan itu terus berlanjut, sampai kemudian pecah dalam peristiwa berdarah, kerusuhan 22 Mei, yang memakan 8 korban setelah Jokowi diumumkan sebagai pemenang Pilpres 2019.

Oleh: Tim Lindsey (The Conversation)

Kerusuhan hebat yang mengguncang Jakarta pekan lalu menyebabkan setidaknya enam orang tewas, lebih dari 700 orang terluka, dan lebih dari 200 orang ditangkap. Demonstrasi merupakan peristiwa yang biasa terjadi di Indonesia, tetapi kekerasan jalanan seperti ini belum pernah terlihat sejak jatuhnya presiden diktator Suharto tahun 1998.

Protes dimulai dengan damai di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tanggal 21 Mei 2019 setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat keputusan mengejutkan untuk merilis hasil penghitungan suara resmi dini hari itu pukul 3 pagi, sehari sebelum tenggat waktu.

Pukul 9 malam hari Rabu (22/5), para demonstran yang mendukung calon presiden oposisi, jenderal purnawirawan Prabowo Subianto, (termasuk beberapa pihak yang tampaknya berafiliasi dengan ISIS) membakar mobil dan bangunan, serta menggunakan batu, bom molotov, dan petasan untuk menyerang polisi.

Petugas keamanan merespons dengan menggunakan gas air mata, meriam air, dan peluru karet untuk mengurai massa. Mereka mengklaim tidak menggunakan peluru tajam, meskipun keluarga dari setidaknya dua korban mengklaim bahwa kedua korban meninggal karena luka tembak. Sementara itu, Rumah Sakit Bhayangkara mengatakan bahwa otopsi menunjukkan empat orang korban meninggal dengan penyebab yang sama.

Kekerasan kembali terjadi malam berikutnya dan menyebar ke luar Jakarta, dengan insiden serupa terjadi di Jawa Timur dan Potianak, Kalimantan Barat. Pemerintah Indonesia mengerahkan tentara untuk membantu mengendalikan situasi. Dengan sangat prihatin, pemerintah mengambil langkah luar biasa dengan membatasi kecepatan internet untuk mencegah pembagian pesan provokatif di media sosial seperti WhatsApp dan Facebook. Dua malam kemudian, pemerintah tampaknya telah mengendalikan situasi.

Hari Jumat (24/5), tim kampanye Prabowo mengajukan gugatan terhadap hasil Pilpres 2019 kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka berargumen bahwa margin kemenangan lebih dari 10 persen yang meyakinkan atas kemenangan kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo diperoleh secara curang. Sampai saat ini, mereka belum dapat menghasilkan bukti yang meyakinkan untuk mendukung argumen tersebut.

Jika MK kemungkinan besar menolak petisi Prabowo untuk membatalkan kemenangan Jokowi, hal itu mungkin akan memicu serangkaian kerusuhan lainnya. Ini khususnya terjadi karena kamp Prabowo telah mengatakan selama berminggu-minggu bahwa pengadilan cenderung bias dan membela pemerintah.

Tetapi bahkan jika kerusuhan kembali terjadi, itu sangat tidak mungkin untuk menjatuhkan Jokowi, mengingat bahwa pemerintah, polisi dan tentara tampaknya telah berdiri rapat dalam barisan mendukung kemenangan Jokowi.

Banyak anggota elit tidak begitu menyukai Jokowi, politisi yang merintis karir kepresidenan dengan spektakuler pada Pilpres 2014 dan tetap dipandang sebagai orang luar. Namun, Jokowi memiliki keuntungan besar sebagai capres petahana. Para pemimpin birokrasi dan pasukan keamanan berutang posisi, kekayaan, dan kekuasaan mereka kepada pemerintahannya. Mereka khawatir akan dicopot dalam pembersihan posisi senior yang akan dilakukan jika Prabowo berhasil mengambil alih.

Baca Artikel Selengkapnya di sini
 
Status
Not open for further replies.
Loading...

Thread Terbaru

Post Terbaru

Top