Startup Kuliner dan Foodtech : Peluang Emas di Balik Perbatasan

Status
Not open for further replies.

Kukuh_03

New Member
[IMG]


Sumber gambar : grid.id​

Bisnis, JAKARTA— Pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat yang kian ketat di tengah lonjakan kasus Covid-19 dapat menjadi peluang bagi perusahaan rintisan di bidang kuliner dan teknologi kuliner untuk mencatatkan pertumbuhan bisnis. Saat ini, sejumlah perusahaan rintisan (startup) kuliner telah menciptakan ikatan yang saling menguntungkan dengan startup lain di bidang teknologi kuliner, seperti layanan pesan antar, terutama di masa pandemi Covid-19.

CEO dan Co-Founder Kopi Kenangan Group Edward Tirtanata mengatakan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat akan memengaruhi kunjungan pelanggan secara langsung. Namun, berkat model bisnis Kopi Kenangan yang sejak awal menerapkan konsep grab and go dannew retail, pertumbuhan bisnisnya justru tetap baik pada masa pembatasan.

“Pada Mei 2021, kami telah berhasil mengembalikan performa bisnis seperti sebelum masa Covid-19,” katanya, Minggu (4/7).

Pemilik Pison Coffee Arlini Wibowo mengatakan selama penerapan PPKM darurat, perusahaan berfokus untuk terus meningkatkan kualitas produk secara konsisten. “Untuk penjualan kami ada kenaikan 25% selama pandemi Covid-19, khususnya lewat aplikasi pesan antar makanan.”

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan sektor kuliner sekarang mengalami transisi dari luring ke daring. PPKM darurat diyakini akan mengakselerasi perubahan tersebut. Sandiaga mengatakan setiap pemain harus mulai memikirkan perkembangan bisnisnya melalui inovasi, salah satunya di sisi kemasan produk untuk memikat konsumen secara masif.

“Saya melihat bahwa konten adalah raja, makanan itu rasa dan selera adalah raja. Namun, kemasan adalah ratu yang mendorong minat membeli masyarakat serta ekosistem merupakan kerajaan yang menyehatkan industri bisnis ini,” ujarnya

Baca : Bersiap Hadapi Dampak Sistemik Teror PPKM Darurat

Ajang Pembuktian

Akademisi menilai PPKM darurat menjadi ajang bagi perusahaan rintisan di bidang teknologi kuliner (foodtech) untuk meningkatkan inovasi dan layanan produknya. Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan potensi foodtech sangat besar dengan momentum PPKM darurat. Sebab, masyarakat, terutama para milenial, selalu berani mencoba hal yang baru untuk mengusir rasa jenuh.

“Tidak hanya berkegiatan, milenial dan generasi Z juga terus mencari hal unik dan inovatif terutama makanan baru,” katanya.

Dia menilai sangat tepat bagi pemain bisnis teknologi kuliner untuk berkolaborasi dengan beberapa pemain, yaitu dari ride hailing untuk meningkatkan layan anantar makanan dan social commerce.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai perusahaan rintisan berbasis foodtech diprediksi akan bertumbuh 26%—35% sebagai imbas dari pembatasan kegiatan masyarakat secara masif. Hal tersebut akan makin terlihat pada kuartal III/2021 yang volume transaksi bisnisnya akan terpacu oleh layanan pesan antar makanan yang tumbuh signifikan.

Menurutnya, kelas menengah yang sedang di rumah akan menggunakanaplikasi pesan antar makanan yang selaras dengan peningkatan bisnis dari pemain teknologi kuliner. “Ini bisa meningkat lagi kalau ditambah promo dan diskon dari pihak aplikator,” tuturnya.

Namun, terdapat tantangan yang perlu diantisipasi setiap pemain. Salah satunya terkait kebutuhan inovasi untuk skema makan di tempat. Senada, Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengamini adanya pembatasan mampu menjadi katalis positif bagi bisnis teknologi kuliner, terutama di bidang layanan antar makanan dan online food marketing.

“Dengan adanya pembatasan kegiatan masyarakat, penggunaan kedua jenis layanan foodtech tersebut akan meningkat. Bahkan, bisa tumbuh hingga 25%—30%. Sangat besar memang potensinya,” katanya.

Dia menambahkan bisnis teknologi kuliner bisa terus bertumbuh hingga akhir tahun seiring dengan seringnya masyarakat menggunakan ponsel pintarnya untuk berkegiatan, termasuk memesan makanan.

“Selain itu, penetrasi internet terus tumbuh. Ketiga perkembangan layanan penunjang seperti dompet digital dan sebagainya juga makin diadopsi oleh masyarakat,” kata Huda.

Adapun, berdasarkan hasil riset Kearney berjudul Food for Thought: Evolution of Food Services Post-Covid-19, pada 2020, pasar layanan makanan secara umum di Asia menyusut 25%—30% menjadi sekitar US$952 miliar. Indonesia, seperti halnya India dan Filipina, terkena dampak parah dengan penurunan 35%—45%.

Namun, riset tersebut juga mencatat pelaku industri yang cepat beradaptasi dengan model bisnis berbasis teknologi tumbuh dengan baik. Laporan tersebut melihat pengiriman makanan daring di Asia meningkat sebanyak 30% pada 2020. Padahal pada 2019 bahkan tidak mencapai 20%. Menggiurkan bukan?

Sumber : Bisnisindonesia.id
 
Status
Not open for further replies.
Loading...

Thread Terbaru

Post Terbaru

Top